Selasa (26/4/2016) pagi, saat Samosir baru bangun dari tidur nyenyak dalam selimut Danau Toba yang tenang dan damai, sinar matahari menukik di antara rumah-rumah berpanggung di Dusun Buttu Pangaloan, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir.
Beberapa ibu dengan menggunakan penutup kepala dari sarung, tampak sedang menjemur padi di depan rumah khas Batak itu. Saat disapa, salah seorang ibu dengan raut wajah ramah dan lepas, menebar senyum. Tentu dengan sapaan khas Batak, Horas. Sambil tangannya tetap menjamah bulir-bulir padi di atas terpal yang tampak sudah kusam.
“Anggo di ari songon on, manjomur eme majo ito (kalau di hari seperti menjemur padi dulu lah),” kata ibu itu dengan ramah.
Ibu ini memilih menjemur padi lebih awal mumpung matahari sedang turun dengan lembut. Martonun atau bertenun sebagaimana dikerjakan para ibu di dusun ini lazim dilakukan pagi hari. Namun karena baru saja panen, beberapa ibu tidak tampak melakukan itu.
Martonun biasa dilakukan di pelataran depan rumah atau di kolong rumah panggung khas Batak. Mereka menyebut kolong rumah itu, bara.
Tiba di sebuah rumah Batak, tampak di bara rumah beberapa ibu duduk, bercengkerama sembari menenun ulos.
Satu orang ibu muda tengah serius dengan tenunannya. Di depannya sebelah kiri, satu ibu sedang menggulung benang dan lainnya sepertinya berbincang menimpali aktivitas bertenun itu.
Esti boru Sitanggang (26), ibu dengan anak satu dari suami marga Naibaho, dengan ramah menerima Kompas.com ketika diminta waktu sebentar untuk berbincang soal aktivitas pembuatan ulos.
Ternyata ulos yang dikerjakan adalah ulos untuk sub etnis Karo, disebut ulos Sigara-gara atau Uis Gara. Desa Pardugul memang dikenal sebagai sentra produksi ulos untuk sub etnis Karo.
Esti mengaku sudah bertenun sejak kelas lima sekolah dasar. Dia diajari oppung borunya atau neneknya. Hingga saat ini, kata Esti, dia menjadikan keahlian bertenun ulos Karo sebagai pekerjaan utama.
“Ini sudah pekerjaan utama saya,” katanya sambil terus memainkan alat tenunnya yang sederhana, yang dalam bahasa Batak disebut “parugasan”.
Jika suasana hatinya sedang bagus, Esti bisa mengerjakan satu helai Ulos Sigara-gara dalam satu setengah hari. Namun, jika sedang ada rasa malas, ulos tersebut bisa rampung dalam dua hari.
Tak ubahnya orang bekerja di luar sana, Esti mulai mengerjakan ulos berbahan benang mulai pukul 09.00 hingga 13.00. Setelah rehat mengurusi dapur dan rumah, dilanjutkan pukul 15.00 hingga menjelang petang.
“Capek juga, Bang. Soalnya hanya tangan yang bergerak. Pinggang, punggung dan bahu dimakan,” katanya.
Kendati capek, namun Esti tetap semangat bertenun. Tampaknya dia memang sangat menikmati pekerjaan itu.
Dari usaha ulos, kata Esti, warga Pardugul banyak yang sudah melahirkan orang sukses, mulai menjadi pejabat, PNS atau guru.
“Kami tak bisa kaya dari usaha ini. Tapi dari sini banyak anak Samosir bisa menguliahkan anak, bahkan sukses menjadi ‘orang’,” katanya.
Untuk satu helai kain ulos dihargai Rp 250.000 hingga Rp 300.000. Tergantung dari kerapian ulos yang dihasilkan. Semakin rapi, semakin mahal harganya, karena ada saja yang mengerjakan ulos asal selesai sehingga tidak rapi.
Ulos yang sudah selesai dikerjakan biasanya dijual ke pasar. Sebelumnya ada toke (pengepul) dari Kabanjahe, Kabupaten Karo, yang datang ke Desa Pardugul, namun belakangan ini sudah jarang.
Dari satu helai ulos yang terjual, petenun bisa mendapat untung Rp 100.000. Dari satu kilogram benang sebagai bahan pembuatan ulos, rata-rata diperoleh empat helai ulos. Sementara harga satu kilogram benang Rp 200.000.
Benang bahan ulos dipasok dari Surabaya, Jawa Timur. Benang warna putih itu kemudian dicelup sesuai dengan warna ulos, yakni hitam, sebagai warna utama ulos, selain tiga warna lainnya yang tidak terlalu dominan.
Jika sudah selesai proses pewarnaan, maka benang pun bisa ditenun menjadi ulos Sigara-gara.
Mak Nova boru Silalahi (53), satu dari tiga ibu yang ditemui di kolong rumah Batak itu, warga desa mereka sudah hampir ratusan tahun mengerjakan ulos Karo ini.
Meski tak menyebut tahun persisnya, namun menurut dia, keahlian orang Samosir membuat ulos Karo bermula dari boru Karo yang menikah dengan pemuda asal desa di Samosir.
Konon, perempuan Karo itu yang memiliki keahlian membuat ulos Karo juga mengajari para perempuan lain di Desa Pardugul untuk bertenun. Ulos yang dibuat adalah tudung, jenis ulos yang sering dipakai kaum perempuan Karo di bagian kepala jika sedang mengikuti adat.
Desa Pardugul bukan satu-satunya sentra ulos Karo. Ada juga Lumban Suhi-Suhi, Kecamatan Pangururan dan Desa Silalahi, Kabupaten Dairi. Hanya saja, Mak Nova dan Esti menyesalkan sejauh ini perhatian pemerintah untuk membina mereka, termasuk dalam permodalan, sangat minim.
“Kami tak pernah mendapat bantuan atau dukungan pemerintah,” kata Mak Nova.
Para petenun, imbuhnya, selama ini cuma bergantung pada pinjaman modal dari toke yang nantinya membeli ulos produksi mereka, jika petenun kesulitan modal.
“Dari dulu, ada saja yang suka datang, tanya ini itu, tapi entah untuk apa. Ada juga wartawan yang meliput dari TV. Kami sudah sering ditanyai orang, entahlah, kadang bosan juga,” tukas perempuan yang sudah sejak 1992 itu menjadi petenun ulos Karo.
Kenati demikian, selalu ada harapan yang mereka letupkan dari hentakan “parugasan” atau alat tenun mereka agar didengar siapa saja yang bersedia ulurkan bantuan. Setidaknya, dukungan dan bantuan permodalan yang datang kelak tak lagi menjadikan mereka petenun di bawah kolong rumah mereka. ~ kompas.com