Aksara Batak – Dari cerita lisan yang berkembang pada masyarakat Batak, bahwa nenek moyang mereka, Siraja Batak yang pertama mengukir aksara Batak agar dapat menuliskan bahasa Batak. Siraja Batak ini tidak mengetahui bahwa ada bahasa-bahasa lainnya selain bahasa ibunya. Barulah setelah masyarakat Batak menyebar, mereka tahu bahwa ada bahasa dan aksara yang mereka temui di luar Tano Batak. Berdasarkan cerita rakyat tersebut, sedikitnya bisa diambil sebuah gambaran bahwa bahasa dan aksara batak itu asli, tidak dipinjam, dan merupakan hasil cipta-karsa orang batak sendiri.
Bahasa Batak
Suku Batak menuturkan bahasa yang satu sama lain mempunyai banyak kemiripan. Pun demikian, beberapa ahli bahasa dapat membedakan sedikitnya dua cabang utama bahasa Batak yang perbedaannya dinilai sangat besar sehingga satu sama lain tidak memungkinkan untuk berkomunikasi; Batak Karo di wilaya utara dengan Batak Toba di wilayah selatan.
Bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba diklasifikasikan ke dalam rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak, Dairi termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun dianggap sebagai bahasa yang berdiri di antara rumpun utara dan rumpun selatan. Namun secara historis bahasa Simalungun diduga merupakan cabang lain bahasa rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan, sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk.
Dialek dari Batak Simalungun dari segi usia penggunaannya diduga lebih tua dari cabang dialek wilayah selatan.Bahasa Karo dan Simalungun meskipun dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda dan antar penuturnya sulit untuk berkomunikasi. Akan tetapi, di wilayah-wilayah perbatasan Karo dan Simalungun umumnya tidak ada masalah komunikasi karena bahasa di wilayah perbatasan telah terjadi penyerapan dan masing-masing bahasanya telah memiliki banyak kata pinjaman dari seberang perbatasan mereka.
Hal demikian terjadi bukan pada bahasa saja, budaya pun ikut berakulturasi hingga tidak ada lagi perbedaan yang mencolok di antara desa-desa Simalungun dan Karo di wilayah perbatasan. Demikian halnya di daerah perbatasan antara Karo dan Pakpak, juga perbatasan Pakpak dan Toba.
Beberapa ahli linguistik berpendapat aksara Batak berasal dari aksara Semit Kuno yang telah menurun ke wilayah utara, Aramea, ke Brahmi di India Selatan, Pallawa, baru kemudian ke Pulau Sumatra. Dasar penulisan aksara Batak terdiri dari dua perangkat huruf; Ina Ni Surat dan Anak Ni Surat. Tradisi penulisan aksara Batak diduga berkembang abad ke-13 Masehi.
Bahasa Angkola, dan Mandaling tidak banyak berbeda. Jika ditelaah lebih jauh, bahasa-bahasa tersebut mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga umumnya disebut bahasa Angkola-Mandaling. Dengan adanya kesinambungan dan perkembangan antara suku-suku Batak, tidak lah mengherankan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang jelas antara varian-varian dari surat Batak.
Selain Batak Karo, bahasa yang dipakai masyarakat di wilayah utara adalah dialek Alas termakuk kelompok non-Batak, dialek Batak Pakpak Dairi, dan pelbagai dialek turunannya. Ada pun kelompok selatan yang meliputi Batak Toba dan Angkola Mandailing.
Sebagai akibat dari masa kolonialisme Belanda pada abad ke-19—berkobar perang antara rakyat Batak dengan kolonial—banyak orang Batak Toba pindah ke beberapa tempat; Dairi, Simalungun, dan hingga ke Alas. Kini, bahasa Toba banyak dituturkan di wilayah Pematangsiantar hingga Sidikalang.
Hampir semua dialek dari bahasa Batak yang sekarang ada diperkirakan berasal atau diturunkan dari Batak tua (proto language). Sebagian kosakata, melalui hasil studi perbandingan sejarah bahasa, justru diwariskan rumpun batak Utara. Dalam hal ini rumpun utara dianggap melestarikan bentuk asli misalnya.
Kata untuk bilangan tiga dalam bahasa Batak Tua adalah tělu yang sekarang diwarisi oleh rumpun Batak Utara. Sedangkan rumpun Batak Selatan terjadi pergeseran dari [ě] menjadi [o]. Sehingga těluberubah menjadi tolu. Akan tetapi, banyak juga contoh bentuk asli yang digunakan rumpun selatan.
Varian surat Batak secara umum dapat dibagi menjadi Angkola-Mandaling, Karo, Pakpak, Simalungun, dan Toba. Namun, harus juga diingat bahwa baik dari bahasa, budaya, dan tulisan selalu ada garis pemisah yang jelas antara kelima suku kelompok tersebut, meskipun kelimanya mempunyai induk yang sama.
Sistem Aksara Batak
Aksara Batak tidak digunakan pada media tulisan seperti pada batu (berupa prasasti) atau pada lempengan logam—dimungkinkan pernah digunakan tetapi belum ditemukan. Aksara Batak lebih banyak digunakan dalam media tulis berupa tabung bambu, kulit kayu, dan juga kertas.
Aksara Batak memiliki persamaan dengan aksara Kaganga meliputi aksara Rencong, aksara Kerinci, aksara Lampung, aksara Rejang, dll. Kemungkinan, aksara Batak memiliki rumpun bahasa tua yang sama dengan aksara Kaganga.
Aksara Batak adalah sistem aksara semisilabis yang terdiri dari 19 induk huruf yang masing-masing wilayah terdapat sedikit perbedaan dalam cara menuliskannya—tergantung pada dialeknya. Sistem aksara ini memiliki 5 hingga 7 tanda diakritik untuk menandai vokal dan konsonan akhir, atau huruf anak. Diakritik adalah tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah nilai fonetis huruf itu, contoh. tanda /’/ pada fonem /e/hingga menjadi /é/.
Selain vokal dan konsonan, dalam sistem aksara Batak dikenal tanda baca yang disebut pangolat dan saringar. Pangolat adalah tanda baca yang digunakan untuk mematikan aksara konsonan. Sedangkan saringarmemiliki fungsi membuat bunyi vokal dan nasal (-ng) pada huruf konsonan seperti e, i, o, u, ing, ng, dan ong.
Pustaha, “Buku” Orang Batak
Pustaha adalah naskah seperti alat musik akordeon, terbuat dari kulit kayu Gaharu (Aquilaria malaccencis). Pustaha adalah salah satu media bagi orang Batak untuk menuliskan hal-hal yang menurut mereka penting pada masa lalu.
Kulit kayu Garu itu dikeringkan, kemudian dilipat lalu ditempelkan kayu pada dua sisinya sebagai sampul dan juga sebagai pengikat. Teradang digunakan jalinan rotan untuk mengikat pustaha ini. Tinta untuk menulis berasal dari sampuran jelaga, damar dan beberapa jenis getah pohon.
Dahulu, pustaha digunakan oleh Datu atau para Guru dan dukun. Misalnya menulis pelaksanaan ritual keagamaan, cara menafsirkan pertanda alam, resep meracik obat, dll. Sepertinya hal-hal yang sifatnya administrasi tidak dimuat dalam pustaha. Karya sastra baik itu berasal dari legenda dan atau mitos juga tidak diabadikan dalam pustaha. Untuk urusan cerita rakyat, Orang Batak sepertinya percaya dengan peran turi-turian, yaitu tradisi lisan.
Selain dari kulit kayu, masyarakat Batak, menggunakan bahan-bahan dari bambu sebagai media menuliskan aksara Batak dengan menggunakan pisau tajam yang ditorehkan pada lapisan kulit bambu. Media lainnya yang digunakan untuk menulis aksara batak adalah alat-alat yang dipergunakan sehari-hari seperti alat musi terutama suling, kotak sirih-kapur, sekoci tenun, dan lain sebagainya. – www.wacananusantara.org