“Orang Batak Makan Orang”, kemungkinan kamu pernah mendengar sebutan tersebut. Kalau kamu orang Batak mungkin rada kesal juga dengar kalimat tersebut, ya? Namun ada juga yang malah jadi penasaran mengapa cukup banyak orang menyatakan kalimat tersebut. Benarkah orang Batak makan orang? Sejarah apa yang melatarbelakangi kalimat julukan tersebut?
Ya, tak dipungkiri bahwa istilah kanibalisme seperti itu terdengar cukup menakutkan. Kanibalisme sendiri berarti pemahaman untuk memakan sesama jenisnya. Contohnya saja kucing memakan kucing, anjing makan anjing dan bisa juga manusia memakan sesama manusia. Mengerikan? Tentu saja mengerikan. Tak terbayangkan bagaimana rasanya daging manusia. Errr! Membayangkannya saja tak sanggup.
Akan tetapi, kanibalisme sendiri tak dapat ditolak memang menjadi salah satu sejarah kelam manusia. Kata “kanibal” awalnya berasal dari bahasa Belanda yang berkaitan dengan bahasa Spanyol “canibal” yang artinya orang dari Karibia. Fenomena ini awalnya ditemukan oleh para penjelajah. Selain di wilayah Karibia, fenomena tersebut terjadi di Benua Amerika yaitu antara lain pada Bangsa Maya, Aztek dan juga suku Anasazi.
Di wilaya Asia-Pasifik, fenomena Kanibalisme juga terjadi di wilayah Kalimantan yaitu oleh suku Dayak, kemudian juga ada di Papua oleh suku Asmat dan juga di Sumatera Utara oleh suku Batak. Maka dari itu, tak heran, stigma “orang Batak makan orang” pun menyebar cukup luas. Apalagi mengingat suku ini cukup dikenal di Indonesia dan menjadi salah satu suku paling menyebar.
Sejarah “Orang Batak Makan Orang”
Mari kita telusuri mengapa sampai kalimat tersebut tercetus! Tahukah kamu kalau ritual kanibalisme memang telah terjadi di kalangan orang Batak. Memang fakta ini masih menjadi kontroversi. Ada yang mengatakan itu benar namun tak sedikit pula yang menampik. Di pihak yang mengatakan itu benar, disebutkan bahwa ritual tersebut dahulu dijadikan sebagai ritual memperkuat jiwa (tondi, dalam bahasa Batak) oleh si pemakan daging manusia tersebut. Secara khusus, beberapa bagian tubuh yang dimakan adalah jantung, telapak tangan, telapak kaki dan juga darah. Bagian-bagian tubuh tersebut dianggap kaya akan tondi.
Dokumentasi akan ritual kanibalisme di suku Batak ini masuk dalam sebuah memoir, yang ditulis oleh Marco Polo saat datang ke bagian timur Sumatera di tahun 1292. Dia menyebutkan bahwa ada sebagian masyarakat pedalaman yang menjadi “pemakan manusia”. Dia memang tidak pernah melihat langsung ritual tersebut namun dia mendengar cerita tersebut. Kemudian, di tahun 1840 sampai 1841, seorang ahli Geografi asal Jerman bernama Franz Wilhelm Junghuhn serta rekan-rekan dokter pernah mengunjungi tanah Batak. Dia menceritakan bahwa ketika sampai di sebuah desa – dia disambut ramah. Akan tetapi, tuan rumah menawarkan daging manusia yakni dua tahanan yang disembelih. Akan tetapi, bisa jadi hal tersebut kadang-kadang hanya dibesar-besarkan dengan tujuan untuk menakuti orang-prang yang ingin menjajah daerah Batak.
Nah, pada tahun 1840-an, kebenaran cerita tersebut sedikit diteguhkan oleh orang Eropa bernama Oscar von Kessell. Dia bisa dibilang sebagai salah satu orang Eropa pertama yang melakukan pengamatan terhadap ritual kanibalisme tersebut. Dalam deskripsinya dinyatakan bahwa kanibalisme yang dilakukan oleh orang Batak tersebut punya dasar hukum tertentu. Kanibalisme dilakukan ketika ada orang yang melakukan perbuatan jahat seperti mata-mata, pencuri, pezina atau pengkhianat.
Ritual tersebut menggunakan beberapa bumbu ketika memasak daging manusia tersebut, yaitu cabai merah, garam serta lemon. Bumbu-bumbu tersebut menandakan bahwa keluarga sang korban telah menerima keputusan masyarakat tersebut dan tidak berpikir untuk membalas dendam.
Catatan tersebut sejalah dengan catatan Ida Pfeiffer yang melakukan kunjungan ke daerah Batak pada Agustus 1852. Meski tak melihat langsung namun dia diberi tahu kalau tahanan perang akan dipenggal dan kemudian darahnya diambil serta diawetkan untuk dijadikan minuman ataupun puding. Kemudian, beberapa bagian tubuh seperti hidung, telinga dan telapak kaki menjadi hidangan eksklusif bagi raja. Sementara itu, bagian tubuh lainnya seperti hati, jantung, daging kepala serta telapak tangan diolah menjadi sajian khas. Sementara daging lainnya dijadikan panggangan yang dimakan bersama garam. Oh iya, perempuan tidak diperbolehkan ambil bagian dalam acara makan malam publik besar tersebut.
Cerita Mengenai Memakan Manusia
Ada cerita di tahun 1834, ada dua missionaris Kristen asal Boston yaitu Munson dan Lyman yang ingin menyebarkan agama Kristen. Namun, naas dua missionaris tersebut malah disergap dan disembelih. Akan tetapi, di masa Op. Nomenssen, yang kemudian menjadi salah satu tokoh dari luar yang terkenal di Batak, Kekristenan menyebar dan mengubah perilaku sebagian besar orang Batak. Turut berperan keturunan dari Raja Panggalamei Lumbantobing yang menjadi penyokong penyebaran Kekristenan tersebut. Ya, di tahun 1890-an, kolonialisme Belanda turut menjadi faktor pengubah kebiasaan tersebut. Awal abad ke-20, kanibalisme menjadi jarang di tanah Batak dan bahkan hampir tak ada lagi.
Wah, panjang juga sejarah “orang Batak makan orang”, ya! Sekarang sudah tahu, kan, alasan mengapa ada kalimat yang cukup tak mengenakkan tersebut?