Dalam rangka peringatan wafatnya Singamangaraja 12 pada tanggal 17 Juni 1907 patik teringat gambarnya yang dipajang di sekolah-sekolah kita sebagai gambar baru yang memperlihatkan pahlawan Batak ini ditampilkan dengan senyum mirip lelaki Jawa.
Beda dari citra keras, anggun berwibawa dari gambar Singamangaraja lukisan Agustin Sibarani yang patik kenal sewaktu patik sekolah dulu. Gambar SM 12 yang bertabur di sekolah-sekolah saat ini dibuat oleh pelukis Jawa, dicetak di Jawa secara massal sehingga bisa dijual dengan harga murah.
Belum patik dengar ada keluarga besar SM 12 yang memprotes atau mempersoalkan gambar model baru ini. Padahal keluarga SM 12 sudah mengakui lukisan yang mendekati kebenaran sosok asli SM 12 adalah yang dibuat oleh Agustin Sibarani saat diperlukan sebagai persyaratan pengusul pejuang ini sebagai pahlawan nasional.
Lukisan itu konon sekarang masih ada di istana negara dan pernah bertahun-tahun terlantar. Repro dari lukisan itu lah yang dipakai sebagai cover buku Agustin Sibarani tentang SM 12 (1979) dan repronya yang dipakai dalam prangko Indonesia tahun 1967 dan juga uang keluaran BI tahun 1987 dengan nominal Rp.1000.
Memang Agustin Sibarani menggugat BI hal uang Rp.1000 gambar Singamangaraja 12 yang merubah lukisannya tanpa seizin sang pelukis.
Tapi yang tampil di sekolah-sekolah dan dijadikan media pembelajaran para guru bukanlah ketiga gambar berasal dari lukisan otentik Sibarani itu, tapi gambar baru buatan seniman Jawa (?) dengan sorban dan senyum bukan Batak?
Siapa pelukisnya? Apakah gambar Diponegoro bisa kita ubah pakai Ulos dan pegang Tongkat Tunggal Panaluan? Atau kah ini lukisan Posmo?
Dalam penelusuran patik, ada lukisan Singamangaraja 12 yang lain, yang menurut sumber, inilah lukisan asli Singamangaraja 12 itu. Adakah pembaca yang bisa menanggapi ini?
Anehnya, sekalipun Singamangaraja 12 tidak pernah diketahui ada fotonya, tapi foto ayah nya, yakni Singamangaraja 11 (SM 11) disebut pernah dibuat dan dipajang di rumah Residen Poortman di Belanda. Foto Singamangaraja di rumah Poortman itu berasal dari arsip di perpustakaan Universitas Leipzig Jerman.
Pernah waktu tahun pertama kuliah di Jerman (1996) patik dengan semangat, ingin menjadi penemu foto Singamangaraja 11.
Menurut buku Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP) berjudul Tuanku Rao (1964) foto SM 11 itu ada di perpustakaan Universitas Leipzig, wilayah bekas Jerman Timur karena dibawa oleh Junghuhn pemotretnya yang merupakan alumni di situ.
Patik tertarik uraian meyakinkan MOP tentang bagaimana foto itu dibuat Junghuhn lengkap dengan teknologi fotografinya yang sangat sederhana di akhir abad 19 itu.
Kameranya terbuat dari kayu, kata MOP, sebesar kotak (bayangkan peti) sabun, dan negative filmnya dibuat sendiri oleh Junghuhn di lapangan, menggunakan Glass Collodium Negatives. Untuk membuat negative itu Junghuhn membawa botol botol dan bahan kimia, dirakitnya negative itu di lapangan. Kata MOP, “Betul2 Djerman punya macam.”
Dan masih kata MOP, Singamangaraja 11 dijemur Junghuhn di panas terik matahari sampai 2 jam untuk bisa di foto sambil menunggu rakitan peralatan photografi dari Jerman itu siap jepret. Lihatlah uraian lebih detail MOP dalam teks asli bukunya yang patik lampirkan ini.
Uraian MOP yang meyakinkan itu membuat patik pun terkecoh pergi ke Leipzig, berangkat dari stasion Dammtor Hamburg selama 5 jam menuju Leipzig. Ada 3 kali patik ke Leipzig dan ketiganya sambil patik berburu prangko dan benda filateli di rumah lelang prangko Knut Fortagne und Christine Lipfert, Leipzig.
Dan tiga kali datang bongkar-bongkar arsip kuno perpustakaan Universitas Leipzig termasuk perpustakaan Nasional Leipzig, tak patik temukan sedikitpun jejak Junghuhn dan lukisan SM 11 yang disebut MOP itu.
Petugas perpustakaan yang ramah melayani akhirnya kesal, “Eigenlich, was suchen Sie ?” (Ente sebenarnya nyari apa sih). Ataukah benar yang patik cari sudah diangkut Poortman semua ke Belanda? Tertipukah patik akan uraian MOP yang meyakinkan dan penuh retorika itu?
Dengan langkah gontai dan hampa meninggalkan perpustakaan Leipzig, mulailah patik bertanya, benarkah MOP ini? Ataukah patik gagal mencari, atau memang arsip itu ikut musnah ketika berton-ton bom dijatuhkan sekutu meluluhlantahkan kota Leipzig termasuk bangunan tua dan arsip pada perang dunia ke 2?
Belakangan patik tahu tidak hanya patik tapi sejarahwan besar Belanda pun seperti H.J de Graaf dan Pigeaud terkecoh saat menelusuri jejak Islam Cina di Indonesia atas bahan manuskrip MOP.
Keduanya mencari dan tak menemukan arsip Poortman di Belanda yang disebut MOP ada dan otentik, yang menyebabkan sejarahwan Ricklefs (2004) menyatakan Poortman ini mungkin tokoh imajiner MOP.
Beberapa tahun setelah kegagalan patik di Leipzig itulah, patik sadar bahwa foto SM 11 yang diletak di meja kerja Residen Poortman di Belanda, yang diambilnya dari Leipzig itu, khayal MOP adanya.
Tapi itulah kehebatan MOP dalam retorika bahasa dan diksi yang memukau. Bukunya yang kontroversial membingungkan banyak sejarawan besar, menimbulkan amarah juga. Baru belakangan patik tahu setelah membaca ulang bagian awal bukunya, MOP memang sebenarnya bermaksud tidak serius dalam tulisannya.
Dan dalam acara bedah buku MOP cetakan ulang di Unimed (2007) patik menyamakan bukunya sebagai historiografi tradisional yang dengan sengaja mencampurkan fakta dan fiksi.
Kini Thompson Hs mengungkit pula kalau yang menyimpan foto SM 11 adalah keluarga Tuan Manullang. Apakah agaknya ini berkaitan dengan peran orang tua Tuan Manullang sebagai intelejen SM 12?
Jika seandainya satu waktu nanti ditemukan foto SM 11, patik yakin gambarnya jauh dari poster wajah senyum lembut SM 12 yang ada di sekolah sekolah kita.
Bukankah sebaiknya kita meminta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, guru guru di sekolah, agar mengembalikan wajah Singamangaraja 12 yang lebih otentik dan hasil riset mendalam seperti lukisan Agustin Sibarani itu?