Blog Batak ~ Theodora Hutabarat, panggilannya Theo atau Tio. 27 Juli 2016 nanti, perempuan kelahiran Laguboti, dekat Balige, Sumatera Utara ini genap berusia 92 tahun.
Aktivis pergerakan perempuan yang hidup di lima zaman ini merasa sebagai “Anak Toba” tulen karena masih mengingat betul setiap sudut kampung halamannya.
Ditemui pada Senin (7/3/2016) petang di sebuah rumah asri di Jalan Kopi Raya, Perumahan Simalingkar Medan, dia menyambut ramah Kompas.com dengan suguhan es kelapa muda yang diberi sirup berwarna merah.
Ruang tamunya penuh koran, majalah, buku-buku dan lemari yang berisi arsip-arsip.
Pada usianya yang terbilang sepuh, opung (nenek) 12 cucu ini menghabiskan waktu dengan membaca buku yang dibelikan tujuh anak-anaknya, mendengar radio yang cuma memutar tembang-tembang lawas, hanya menonton Kick Andy dan Mata Najwa, serta merajut.
Merajut inilah salah satu keahlian yang diajarkannya kepada murid-murid perempuannya dulu.
“Baguskan? Ini motif burung Cendrawasih, miripkan?” katanya menunjukkan rajutan seukuran sapu tangan berwarna orange muda.
“Saya bersyukur dan berterima kasih sekali kepada suster-suster Jerman yang dulu mengajari kami merajut,” ucapnya sumringah.
Dia masih ingat, syal pertama rajutannya dibuat saat dirinya duduk di sekolah Belanda untuk bumiputera, Hollandsch Inlandsche School (HIS) sekitar 1936-an, atau kelas lima SD saat ini.
Walau masa itu, benang masih menjadi barang langka, tetapi kedekatannya dengan suster-suster Jerman membuatnya masih bisa mendapatkan benang dengan jumlah terbatas.
Pada 1990-an, walau tetap masih terbatas, dia bisa mendapatkan benang rajut yang didatangkan dari Bandung ke Medan.
Setamat dari HIS Sigompulon, Tarutung, Tapanuli Utara, Tio muda melanjutkan pendidikan ke Nyver Hiedschool di Magelang selama tiga tahun.
Munculnya rasa Nasionalisme
Di Jawa, Jakarta dan Bandung, dia baru melihat langsung bagaimana Belanda memperlakukan pribumi. Begitu kejam dan menyedihkan.
Dulu sewaktu di Tarutung, dia tidak melihat kekejaman ini karena pertemanannya dengan teman-teman Jerman dan Belanda masuk kelas sosial atas.
“Di depan rumah ada tulisan, dilarang masuk orang Indonesia dan anjing. Duluan orang Indonesia, baru anjing. Sesudah saya baca kerja paksa di Jawa, gaji kuli-kuli cuma 2,5 sen per minggu, baru saya tahu, kok kayak gini kami?” ucapnya dengan raut sedih.
Mungkin ini yang membangkitkan rasa nasionalismenya bangkit. Tio ingin melawan Belanda melalui jalur pendidikan.
Selepas mengenyam pendidikan di Malang, Tio langsung pulang ke Tarutung. Dia langsung mengajar di Sekolah Kepandaian Putri milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Balige selama dua tahun.
Jumlah muridnya tak sampai 20 orang berasal dari luar Kota Tarutung, semua tinggal di asrama.
Pada 1944, Tio menikah dengan Mannius Lumbantobing yang berprofesi sebagai guru, mereka dikarunia sembilan orang anak.
Tio menghabiskan waktu dengan membesarkan anak-anaknya tanpa pembantu, aktivitas mengajar sejenak berhenti atau dilakukan di rumahnya.
Apalagi saat suami ikut pendidikan guru oleh Jepang di Padang Panjang, dia pindah ke Balige dan tinggal bersama mertua.
Dua bulan sepulang suami dari Padang Panjang, mereka kembali ke Tarutung karena almarhum Mannius ditempatkan di kantor Pendidikan Masyarakat kemudian menjadi Direktur Sekolah Guru Bawah Sigompulon hingga pensiun.
Terbitkan majalah
Pada tahun-tahun ini pula, Tio selalu bersama dengan kakak kandungnya, Julia Hutabarat yang sejak di Solo sudah aktif di dunia pergerakan perempuan.
Julia adalah ibu kandung Ratna Sarumpaet. Dialah pendiri Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Tapanuli. Ajakan Julia benar-benar ampuh, Tio akhirnya terdaftar sebagai anggota, lalu pada 1953 sampai 1957 menjadi pucuk pimpinan PWKI.
Pada masa kepemimpinan Julia, PWKI tahun 1954 melahirkan Majalah Melati berbahasa Batak #Toba dan sedikit bahasa Indonesia yang menjadi alat pergerakan hingga ke kampung-kampung.
Tujuan penerbitan majalah itu untuk mencerdaskan kaum perempuan Batak dan sebagai pendidikan awal baca tulis, sehingga perempuan-perempuan Batak menjadi melati di keluarganya.
“Dulu satu majalah dibaca banyak orang, jadi belinya satu saja, anak-anak yang membacakan. Juga sebagai bukti dan pemberitahuan kepada anggota PWKI yang tidak bisa datang rapat atau konferensi-koferensi,” katanya sambil menunjukkan majalah penuh kenangannya.
Majalah Melati terbuat dari kertas ubi setebal 24 halaman, harganya Rp 2,50 sen. Isinya tulisan-tulisan tentang aturan dan cara-cara berorganisasi, meningkatkan kesejahteraan keluarga, anak dan pendalaman Alkitab.
Selain itu, majalah itu juga memuat berita-berita yang berhubungan dengan pergerakan perempuan di tempat lain, bahkan dunia. Semua ditujukan untuk perempuan Batak.
Akhir perjuangan
Penyebaran majalah berkembang hingga ke Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah. Namun, hanya bertahan tiga tahun. Tepat pada 1957, Majalah Melati tak lagi terbit dan dimusnahkan.
Penutupan majalah itu karena para suami dan pengurus PWKI dituding terlibat dalam Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pimpinan Kol M Simbolon.
Mereka ditangkap dan ditahan di Balige selama dua minggu, Tio dan kakaknya, Julia termasuk di antaranya.
Keluar dari jeruji besi, Tio memilih vakum dari pergerakannya karena masih terus diawasi. Dia juga dikenakan wajib lapor oleh Divisi Diponogoro dan Siliwangi.
“1960-an, pengawasan mulai tidak ada lagi. September 1961 kami ke Balige, suami meneruskan usaha mertua. Saya menerima jahitan dan usaha konveksi kecil-kecilan. Setelah suami saya meninggal, 1969 kami sekeluarga memutuskan untuk pindah ke Medan, sampai sekarang ini,” ucap perempuan yang masih terlihat sehat dan bugar ini.
Sesekali dia berdiri, bolak-balik ke kamarnya tanpa menggunakan tongkat.
Di Kota Medan Tio mempelajari secara sempurna bahasa Indonesia. Sebelumnya dia hanya bisa berbahasa Batak dan Belanda. Kelas dua HIS sudah berbahasa Belanda, di Malang berbahasa Belanda dan Jawa.
Maka peraturan yang dibuatnya untuk anak-cucu, wajib berbahasa Batak jika berada di rumahnya. Alasannya, agar bahasa Batak terpelihara di semua keturunannya.
“Medan bahasanya campur aduk. Bahasa Batak sekarang sudah banyak yang bersalahan, salah satu yang saya lakukan untuk menjaganya dengan mewajibkan anak-cucu berbahasa Batak di rumah ini,” ujar penyuka warna biru langit itu.
Ditanya apakah ada dari anak atau cucunya yang meneruskan darah pergerakan, dia jawab Dina Lumbantobing. Perempuan kelahiran 1957 berkaca mata dan supersibuk itu adalah pendiri Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada). Organisasi yang juga bergerak untuk memajukan perempuan.
Itulah cerita Opung Tio. Aktivis perempuan yang hidup di enam masa, penjajahan Belanda dan Jepang, kemerdekaan, Orde Lama dan Baru, dan masa reformasi.
Tio mengatakan selalu berdoa supaya perempuan-perempuan Indonesia dibimbing ke jalan yang benar.
Meski hari-harinya dihabiskan dengan membaca dan merajut sambil dikelilingi anak dan cucu, Tio tetap merasa kesepian karena semua teman seperjuangan dan sebayanya sudah lama meninggal dunia.
“Sepi sekali saya, tidak ada lagi teman sebaya, yang 70-an pun sudah meninggal. Kalau di keluarga, dari sebelas bersaudara tinggal saya sama si bungsu, tapi dia di kampung. Itulah, tinggal berdua saja kami,” ucap penyuka lagu “Ooo, Tano Batak” ini pelan.